Pro-Kontra Apakah Boediono Neoliberalis atau Tidak

Faisal BasriBerikut adalah berbagai artikel pro-kontra yang menyatakan apakah Boediono adalah Neoliberalis atau tidak.

Ekonom UI, Faisal Basri, Chatib Basri (Pendukung Iklan Kenaikan Harga BBM), dan Anas Urbaningrum menolak tuduhan Boediono adalah Neoliberalis. Menurut Faisal H Basri bahkan Boediono adalah Antitesa Neoliberal. Di antara argumentasi Faisal Basri adalah:

===

Faisal Basri:

“Falsafah Bappenas itu bukan neoliberal,” ujar Faisal. Peran Bappenas, menurut dia, sangat besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. “Seandainya Boediono neoliberal, maka dia tidak akan mau bergabung dengan Bappenas.”

===

Chatib Basri mengatakan bahwa Boediono yang telah berperan di bidang Ekonomi dari Zaman Megawati hingga SBY bukan sosok Neoliberalis.

Sementara ekonom UGM, Revrisond Baswir, justru menuding Boediono sebagai Neoliberalis. Begitu pula beberapa aktivis LSM seperti KAMMI dan juga politisi PAN.

Jelas satu hal menggembirakan jika di negeri ini orang sudah malu mengaku jadi Neoliberalis karena paham tersebut sudah membangkrutkan AS.

Tapi untuk mengetahui apakah seseorang itu Neoliberalis atau tidak mungkin kita bisa pelajari Neoliberalisme/Globalisasi dari Ensiklopedia MS Encarta dan Wikipedia.

Dari situ kita ketahui bahwa lembaga penyebar paham Neoliberalisme adalah IMF, Bank Dunia (World Bank), dan juga WTO.

Ada pun agenda Neoliberalisme adalah melaksanakan:

  1. Pasar Bebas (Free Market). Para spekulan dari berbagai negara bebas jual-beli saham/komoditas/valuta asing
  2. Privatisasi (Penjualan BUMN)
  3. Deregulasi (menghilangkan aturan yang membatasi perusahaan misalnya aturan perusahaan asing dilarang mendirikan pom bensin di Indonesia)
  4. Liberalisasi (membuka pasar dengan menghilangkan penghalang/pajak yang membatasi ekspor/impor)
  5. Pengurangan peran pemerintah
  6. Pengurangan pajak bagi menengah ke atas
  7. Memotong Pelayanan Publik seperti menyerahkan Perusahaan Air Minum ke swasta, Privatisasi Pendidikan, (misalnya untuk masuk PTN sekarang jadi mahal), Rumah Sakit, dan sebagainya
  8. Pengurangan Subsidi Barang seperti BBM, Air, Listrik

Dengan belenggu hutang (misalnya hutang LN Indonesia saat ini sekitar Rp 1.600 trilyun), IMF dan Bank Dunia memaksa negara-negara di dunia untuk melaksanakan agendanya. Sehingga sering mengakibatkan kerusuhan IMF (IMF riots) seperti terjadi di Indonesia tahun 1998.

Nah menurut beberapa pendukung Boediono seperti Faisal Basri dan Chatib Basri yang menyatakan bahwa Boediono sudah menangani ekonomi Indonesia dari akhir masa pemerintahan Soeharto, Megawati, dan juga SBY, apakah sistem ekonomi di Indonesia menganut Neoliberalisme atau tidak?

Apakah BUMN-BUMN Indonesia seperti Indosat, Telkom, BNI, dsb diprivatisasi?

Apakah subsidi BBM dicabut sehingga harga BBM di Indonesia mengikuti harga minyak dunia/pasar?

Apakah layanan publik seperti air diserahkan kepada swasta?

Apakah pendidikan seperti Pendidikan Tinggi Negeri diswastanisasi dan jadi lebih mahal dari universitas swasta?

Apakah ada arah agar kekayaan alam kita yang sekarang 90% dikuasai asing tidak akan dinasionalisasi sebagaimana yang dilakukan Arab Saudi di tahun 1974 sehingga jadi makmur dan sekarang diikuti oleh Venezuela?

Jika jawabannya ”YA”, maka jelas orang itu adalah Neoliberalis.

Jika jawabannya ”TIDAK”, maka jelas orang itu adalah Bukan Neoliberalis.

Selain itu argumen Faisal Basri yang menyatakan pak Boediono bukan orang Neolib karena dia mau masuk ke Bappenas adalah argumen yang aneh.

Sebagai contoh di Ensiklopedi MS Encarta disebut bahwa IMF dan World Bank adalah lembaga Neoliberalis, toh Sri Mulyani pernah bekerja jadi Direktur IMF Lihat:

http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sri-mulyani-indrawati/index.shtml

Di situ juga disebut bahwa Sri Mulyani juga menjabat jadi Ketua Bappenas.

Jadi argumen seseorang tidak mungkin jadi Neoliberalis karena kerja di Bappenas adalah argumen yang sangat lemah. Satu negara saja seperti Uni Soviet dan Cina bisa berubah dari Komunis jadi Kapitalis, apalagi institusi di bawahnya.

”Argumen” Faisal Basri yang menyatakan bahwa Boediono bukan Neoliberalis hanya karena sederhana dan santun juga bukan argumen yang tepat.

Sebagai contoh, Soeharto yang disebut penulis buku asing sebagai ”The Smiling General” adalah pribadi yang santun dan murah senyum. Toh sebagian orang menuduhnya melanggar HAM yang mengakibatkan tewasnya ratusan ribu orang pada peristiwa G30 S PKI, Pembantaian Tanjung Priok, Lampung, Aceh, dan sebagainya.

Apalagi dengan kekayaan Rp 18 milyar lebih dan merupakan pejabat yang kekayaannya meningkat paling signifikan (Tempo Interaktif), atribut ”Sederhana” patut dipertanyakan.

Apakah Boediono yang menangani Indonesia dari Zaman Megawati hingga SBY merelakan Rp 2000 trilyun/tahun dari kekayaan alam Indonesia masuk ke kantong perusahaan asing? Apakah Boediono tidak akan membentuk BUMN yang mengelola kekayaan alam tsb sebagaimana amanat UUD 45 pasal 33 sehingga Rp 2.000 trilyun/tahun bisa dinikmati rakyat Indonesia?

Jika jawabannya ”YA”, maka dia adalah Neoliberalis. Jika “TIDAK”, maka bukan neoliberalis. Itulah Kriteria yang tepat untuk mengidentifikasi apakah seseorang itu Neoliberalis atau tidak. Dari Sistem Ekonomi yang dianut dan diamalkannya. Bukan dari hal-hal yang tidak relevan.

Demo Boediono

Di bawah adalah cuplikan berbagai artikel tentang Neoliberalisme dan pro-kontra apakah Boediono seorang Neoliberalis atau tidak. Terlepas dari simpang-siur opini dan berita, kita harus yakin bahwa Tuhan Maha Tahu dan kelak kita semua setelah mati akan menerima balasan tanpa ada teman/konco-konco yang bisa membela.

Semoga pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang peduli dan memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya. Bukan kepentingan perusahaan-perusahaan/lembaga asing

Globalization

Encyclopedia Article

International Monetary Fund

The IMF makes loans so that countries can maintain the value of their currencies and repay foreign debt. Countries accumulate foreign debt when they buy more from the rest of the world than they sell abroad. They then need to borrow money to pay the difference, which is known as balancing their payments. After banks and other institutions will no longer lend them money, they turn to the IMF to help them balance their payments position with the rest of the world. The IMF initially focused on Europe, but by the 1970s it changed its focus to the less-developed economies. By the early 1980s a large number of developing countries were having trouble financing their foreign debts. In 1982 the IMF had to offer more loans to Mexico, which was then still a developing country, and other Latin American nations just so they could pay off their original debts.

The IMF and the World Bank usually impose certain conditions for loans and require what are called structural adjustment programs from borrowers. These programs amount to detailed instructions on what countries have to do to bring their economies under control. The programs are based on a strategy called neoliberalism, also known as the Washington Consensus because both the IMF and the World Bank are headquartered in Washington, D.C. The strategy is geared toward promoting free markets, including privatization (the selling off of government enterprises); deregulation (removing rules that restrict companies); and trade liberalization (opening local markets to foreign goods by removing barriers to exports and imports). Finally, the strategy also calls for shrinking the role of government, reducing taxes, and cutting back on publicly provided services.

World Trade Organization

Another key institution shaping globalization is the World Trade Organization (WTO), which traces its origins to a 1948 United Nations (UN) conference in Havana, Cuba. The conference called for the creation of an International Trade Organization to lower tariffs (taxes on imported goods) and to encourage trade. Although the administration of President Harry S. Truman was instrumental in negotiating this agreement, the U.S. Congress considered it a violation of American sovereignty and refused to ratify it. In its absence another agreement, known as the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), emerged as the forum for a series of negotiations on lowering tariffs. The last of these negotiating sessions, known as the Uruguay Round, established the WTO, which began operating in 1995. Since its creation, the WTO has increased the scope of trading agreements. Such agreements no longer involve only the trade of manufactured products. Today agreements involve services, investments, and the protection of intellectual property rights, such as patents and copyrights. The United States receives over half of its international income from patents and royalties for use of copyrighted material.

IV

Criticisms Directed at the IMF and WTO

Many economists believed that lifting trade barriers and increasing the free movement of capital across borders would narrow the sharp income differences between rich and poor countries. This has generally not happened. Poverty rates have decreased in the two most heavily populated countries in the world, India and China. However, excluding these two countries, poverty and inequality have increased in less-developed and so-called transitional (formerly Communist) countries. For low- and middle-income countries the rate of growth in the decades of globalization from 1980 to 2000 amounted to less than half what it was during the previous two decades from 1960 to 1980. Although this association of slow economic development and the global implementation of neoliberal economic policies is not necessarily strict evidence of cause and effect, it contributes to the dissatisfaction of those who had hoped globalization would deliver more growth. A slowdown in progress on indicators of social well-being, such as life expectancy, infant and child mortality, and literacy, also has lowered expectations about the benefits of globalization.

IMF Terms and Conditions

The IMF, in particular, has been criticized for the loan conditions it has imposed on developing countries. Economist Joseph Stiglitz, a Nobel Prize winner and former chief economist at the World Bank, has attacked the IMF for policies that he says often make the fund’s clients worse, not better, off. So-called IMF riots have followed the imposition of conditions such as raising the fare on public transportation and ending subsidies for basic food items. Some countries have also objected to the privatization of electricity and water supplies because the private companies taking over these functions often charge higher prices even though they may provide better service than government monopolies. The IMF says there is no alternative to such harsh medicine.

The WTO has faced much criticism as well. This criticism is often directed at the rich countries in the WTO, which possess the greatest bargaining power. Critics say the rich countries have negotiated trade agreements at the expense of the poor countries.

The Final Act of the Uruguay Round that established the WTO proclaimed the principle of “special and different treatment.” Behind this principle was the idea that developing countries should be held to more lenient standards when it came to making difficult economic changes so that they could move to free trade more slowly and thereby minimize the costs involved. In practice, however, the developing countries have not enjoyed “special and different treatment.” In fact, in the areas of agriculture and the textile and clothing industries where the poorer countries often had a comparative advantage, the developing countries were subjected to higher rather than lower tariffs to protect domestic industries in the developed countries. For example, the 48 least-developed countries in the world faced tariffs on their agricultural exports that were on average 20 percent higher than those faced by the rest of the world on their agricultural exports to industrialized countries. This discrepancy increased to 30 percent higher on manufacturing exports from developing countries.

Baca selengkapnya di:

http://encarta.msn.com/encyclopedia_1741588397_2/globalization.html

Neoliberalisme – Wikipedia

http://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme

Jalan Neoliberal Pak Bud

28 Feb 2007, Sumber :   media indonesia

Prakarsa Rakyat,

* Oleh: Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta

PIDATO pengukuhan DR Boediono sebagai guru besar ekonomi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menarik untuk dicermati. Peristiwa itu tidak hanya penting karena berkaitan dengan puncak karier seseorang sebagai staf pengajar perguruan tinggi.

Artinya, berakhirnya era Soekarno tidak dapat dilihat semata-mata karena krisis ekonomi. Keterlibatan Amerika Serikat (AS), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia dalam memicu krisis ekonomi Indonesia layak untuk dikaji secara seksama.

***

Logika serupa dapat pula diterapkan untuk memahami kejatuhan Soeharto. Sebagai antitesis dari pemerintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto adalah pemerintahan kesayangan kolonial. Lebih-lebih selama era pemerintahan ini, para ekonom sahabat Amerika terus-menerus dipercaya untuk menakhodai penyelenggaraan perekonomian Indonesia.

Namun setelah 32 tahun, di tengah-tengah ketidakpuasan internal yang cenderung meluas, serta tuntutan liberalisasi perdagangan yang dilancarkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), memelihara pemerintahan Soeharto mungkin terasa sudah terlalu mahal ongkosnya.

Boediono tampaknya sengaja mengabaikan amanat yang antara lain tercantum dalam Pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu. Konsekuensinya, bagi saya, yang perlu dicari korelasinya bukanlah antara tingkat pendapatan per kapita dan demokrasi, melainkan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.

Berbagai studi yang diacu Boediono mengenai hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dan demokrasi, saya kira lebih tepat dipahami sebagai preskripsi, yaitu untuk memuja pertumbuhan ekonomi dan melancarkan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di negara-negara dunia ketiga.

Dari sudut pandang yang lain, sesungguhnya bukan krisis ekonomi yang menjadi batu sandungan demokrasi, melainkan tingkat demokratisasi ekonomi. Krisis ekonomi, selain bisa direkayasa kekuatan kolonial, hanya akan menjadi batu sandung demokrasi pada tingkat elite.

Pada tingkat rakyat banyak, justru demokrasi tanpa demokrasi ekonomilah yang menjadi sumber malapetaka. Mengapa? Sebagaimana dialami Indonesia saat ini, demokrasi tanpa demokrasi ekonomi ternyata tidak hanya melahirkan petualang-petualang politik. Ia menjadi dasar legitimasi bagi pelembagaan sistem ekonomi pasar neoliberal di negeri ini.

Dengan mengemukakan hal itu sama sekali bukan maksud saya untuk menganjurkan agar Indonesia kembali mengisolasi diri, atau agar negeri ini kembali ke era pemerintahan otoriter. Yang ingin saya tegaskan ialah prioritas agenda perekonomian Indonesia ke depan bukanlah pertumbuhan ekonomi dengan embel-embel yang tersebar sekali pun. Melainkan, sesuai dengan cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi, melakukan segala upaya untuk mewujudkan demokrasi ekonomi secepatnya.

Jika dilihat dari sudut pertumbuhan, terus terang saya lebih menekankan kualitas pertumbuhan daripada tinggi atau rendahnya angka pertumbuhan. Artinya, embel-embel yang tersebar saja jauh dari cukup untuk memahami kualitas pertumbuhan.

Pertumbuhan yang berkualitas harus dilihat baik pada segi proses, keberlanjutan, maupun implikasinya terhadap kemandirian ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tersebar, tidak akan bermanfaat jika bersifat teknokratis dan memperdalam cengkeraman neokolonialisme.

Sebagai penutup, ada baiknya saya kemukakan, walaupun saya dan Pak Bud (demikian saya biasanya menyapa beliau), sama-sama berasal dari Fakultas Ekonomi UGM, sudut pandang kami dalam melihat perekonomian Indonesia bertolak belakang 180 derajat.

Khusus mengenai substansi pidato yang disampaikannya, saya merasa agak kesulitan menemukan pribadi Boediono yang pada awal 1980-an pernah menjadi sahabat dekat Prof Mubyarto. Yang terasa menonjol dalam pidato tersebut ialah pribadi Boediono sebagai sahabat dekat William Liddle, yang menurut informasi yang saya peroleh, memang turut terlibat sebagai pembahas penulisan isi pidato itu. Akhirul kalam, saya ucapkan selamat kepada Pak Bud. Semoga perbedaan sudut pandang ini tidak mengganggu kehangatan persahabatan kita.***

Baca selengkapnya di:

http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/fokus/artikel.php?aid=16091

Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal

Oleh Faisal Basri

Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan Indonesia, persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu tergolong sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia menyaksikan sendiri kursi di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.

Bagaimana sosok seperti itu dituduh sebagai antek-antek IMF, simbol Neoliberalisme yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring lainnya. Lain kesempatan kita bahas tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak Boed. Kali ini saya hanya sanggup bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed yang kian terasa langka di negeri ini.

Baca selengkapnya di:

http://faisalbasri.kompasiana.com/2009/05/14/pak-boed-yang-saya-kenal/

Pak Boed yang Tidak Saya Kenal (1)

Ditulis pada Mei 18, 2009 oleh rusdi mathari

BoedionoDalam kesaksiannya pada persidangan Paul Sutopo tujuh tahun silam, kepada hakim Boediono mengaku, ikut memberikan disposisi persetujuan pemberian fasilitas kliring terhadap bank bersaldo debit. Itu terjadi dalam rapat tanggal 15 Agustus 1997 tapi kata dia, dalam rapat direksi BI tanggal 20 Agustus 1997, dirinya tidak ikut memberikan disposisi.

TAK seperti ekonom Faisal Basri yang mengaku mengenal Boediono, secara personal saya sama sekali tidak mengenal Boediono. Sebagai wartawan, saya hanya beberapa kali menemui Boediono untuk meminta informasi. Itu pun hanya door stop.

Kali pertama saya mencegat  Boediono ketika dia menjabat Direktur II (Bidang Akuntasi) Bank Indonesia. Itu sekitar 1996 atau 1997-an. Waktu itu saya wartawan di InfoBank. “Pertemuan” kedua terjadi sekitar tujuh tahun silam, ketika  saya melihat Boediono duduk di kursi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia bersaksi untuk perkara yang menempatkan Paul Sutopo (kolega Boediono semasa bekerja di BI) sebagai tersangka.

Seperti Faisal Basri yang menjuluki Boediono sebagai orang sederhana sejak kali pertama melihat Boediono, saya pun paham, Boediono memang sosok bersahaja meski saya tidak tahu persis, apakah kursi-kursi di rumahnya benar sudah banyak yang bolong atau tidak.  Semua wartawan yang pernah berinteraksi dengan Boediono, saya kira juga paham karakter Boediono yang tak suka bicara banyak kecuali ketika dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anggota DPR saat dicalonkan menjadi calon Gubernur BI, tahun silam.

Lalu seminggu belakangan, sebagian orang meributkan Boediono. Pemicunya pilihan Susilo Bambang Yudhoyono kepada Boediono sebagai calon wakil presiden pada pemilu presiden mendatang, informasinya sudah bocor sebelum dideklarasikan di Bandung. Boediono kata Faisal Basri lantas dituduh sebagai antek-antek Dana Moneter Internasional atau IMF, simbol neoliberalisme yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring lainnya.

BLBI

Saya tidak tahu kebenaran dan ketidakbenaran tuduhan semacam itu. Yang saya tahu, Boediono cukup banyak meninggalkan cacatan sejak menjabat beberapa pos penting di bidang ekonomi dan moneter di negeri ini. Salah satunya adalah catatan tentang pengucuran Bantuan Likuditas Bank Indonesia alias BLBI.

Ia adalah skandal keuangan terbesar yang pernah terjadi di republik ini dan hingga sekarang, tak satu pun pejabat atau mantan petinggi Indonesia yang mengaku bertanggungjawab atas pengucurannya. Dradjad H. Wibowo, anggota DPR-RI  menyebutkan, seluruh rangkaian BLBI itu sudah memangsa keuangan negara hingga Rp 700 triliun. Setiap tahun, dana APBN yang  tergerus untuk membayar subsidi para bankir dan penerima BLBI  itu tak kurang Rp 50 triliun. Dalam hitungan Dradjad, uang tunai milik negara yang digunakan untuk membayar utang pokok dan bunga yang ditaksir sudah menghabiskan Rp 300 triliun.

Ketika BPPN masih ada, suatu malam di pertengahan September 2002 saya menghadiri undangan dari salah satu pejabat lembaga itu. Acaranya berlangsung di Mercantile Club, Wisma BCA, Jalan Sudirman, Jakarta. Tak ada yang istimewa dari acara itu. Diskusi pun sebetulnya biasa-biasa saja.

Yang tidak biasa, salah satu pejabat lembaga itu mengungkapkan bahwa dari Rp 153,4 triliun (angka saat itu) BLBI yang dikucurkan BI, sebanyak 21 persen diantaranya ternyata tidak diikat dengan jaminan. Kalau pun ada, sebanyak 74 persen ternyata juga tidak diikat dengan asas legalitas. “Kami tidak tahu, kenapa BI bisa kebobolan seperti itu,” kata pejabat tadi.

Hal itu menurut dia, baru diketahui oleh BPPN setelah lembaga itu kembali mengutak-atik dokumen perihal BLBI sehubungan dengan rencana pemanggilan kembali Usman Admadjaja (pemilik Bank Danamon), salah satu konglomerat penerima BLBI. Ada beberapa debitur besar yang namanya tercantum sehubungan dengan penyerahan jaminan yang kurang itu tapi  si pejabat BPPN tadi enggan menyebutkan nama para debitur itu ketika saya berusaha bertanya.

Namun waktu itu saya mendapatkan “bocoran.”  Bob Hasan, Syamsul Nursalim, Usman Admadjaja, dan Kaharudin Ongko, merupakan deretan konglomerat yang masuk dalam daftar penerima BLBI tanpa jaminan itu. Salah satu indikasinya, penyerahan aset para taipan di zaman Orde Baru itu sudah bermasalah sejak awal.  Contohnya soal tambak Dipasena milik Syamsul Nursalim yang ketika itu dinilai Rp 19 triliun.

Tentu saja, saya mengherankan temuan BPPN itu. Karena bagaimana mungkin lembaga sebesar BPPN yang didirikan sejak 1998 untuk mengurusi BLBI, ternyata baru mengetahui ketimpangan itu, setelah akan berakhir masa kerjanya empat tahun kemudian?

Soal temuan itu pun, BPPN sebetulnya bisa dikatakan sangat terlambat. Tiga tahun sebelum acara makan malam di Wisma BCA itu, BPK sudah mengungkapkan banyak ketimpangan antara BLBI dan jaminannya.  Karena dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 54 bank, yang diikat dengan jaminan hanya senilai Rp 24 triliun. Sisanya,  tidak jelas.

Ketidakjelasan aliran BLBI itu diikat jaminan atau tidak, antara lain terungkap dari pengucuran BLBI yang dialirkan lewat fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Fasilitas ini, ternyata tersalur tanpa analisis kondisi keuangan bank penerima.  Contohnya SBPUK yang dikeluarkan lewat Surat Direksi No.30/50/Dir/UK tanggal 30 Desember 1997 atas dasar persetujuan presiden melalui Surat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneng) No. R-183/M.Sesneg/12/1997 tanggal 27 Desember 1997.

Oleh BPK  pemberian SBPUK kepada bank-bank bermasalah itu, dinilai, diberikan tanpa analisis terlebih dahulu atas kondisi keuangan bank yang bersangkutan. Padahal analisis layak tidaknya satu fasilitas keuangan diberikan kepada sebuah bank semacam itu merupakan tugas BI, tepatnya biro Urusan Pengawasan Bank (UPwB).

Baca selengkapnya di:

http://rusdimathari.wordpress.com/2009/05/18/pak-boed-yang-tidak-saya-kenal-1/

Menelusuri Sisi Aneh: Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal

2009 Mei 15, by nusantaraku

Saya pikir banyak orang Indonesia pasti mengenal sosok Faisal H Basri (FHB), SE, MA. Ia sering muncul di TV sebagai seorang analisis ekonomi kawakan. Ia adalah seorang ekonom lulusan Vanderbilt University, Tennessee – Amerika. Bahasa yang lugas, penampilan sederhana melekat pada sosok pria kelahiran Bandung 50 tahun silam. Ia sempat terjun di dunia politik dengan mendirikan partai PAN dan menjadi Sekjen Pertama PAN. Ia pula menpionirnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) namun kini tetap setia menjadi staf pengajar FE-UI.

Munculnya nama Bapak Faisal Basri mungkin menjadi titik nadir pro-kontra bagi mereka yang tidak menyukai bahkan timbulnya aksi gerakan anti Say No to Boediono, Say Yes to Budi Anduk. Hal ini muncul dari tulisan yang sangat memukau dari Faisal H Basri yakni Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal di blog kompasiana-nya. Di blog tersebut, pak Faisal sebutkan bagaimana pertemuanya pertama pada Pak Boediono lalu secara berurutan menceritakan sisi lain dari Pak Boediono. Pak Boediono adalah seorang ekonom handal, itu pasti karena beliau adalah seorang Guru Besar Ekonomi.

Dalam artikel tersebut Pak Faisal menuliskan bagaimana sosok Boediono yang bersahaja, santun dan memegang teguh dan bekerja keras sesuai prinsip-prinsip ekonomi yang dianutnya.

Sikap rendah hati itulah [red: Pak Boediono] yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet,” jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun.  – kutipan : Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal

*******

Menulusuri Sisi : Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal

Tulisan pak FHB memang sangat diperlukan untuk membangkitkan citra yang seimbang atas sosok Pak Boediono. Begitu juga halnya pada pencitraan (Alm) Ali Alatas, Amien Rais, SBY, DN Aidit ataupun Soeharto. Bagi mereka yang dekat dengan pak Harto, mereka merasakan getaran kesederhanaan, kesantunan sekaligus ketegasan dalam diri beliau. Namun, disisi lain kita merasakan hal yang berbeda, sebagian masyarakat mungkin benci akan tindakan refresif (Alm) Soeharto mengejar dan membunuh dengan sadis para simpatisan PKI yang tidak tahu menahu kejadian Gestapu, mengejar para aktivisis yang menentang aksi KKN.  Dan siapa sangka Jenderal dengan Senyum manisnya dengan bicara begitu santun bisa begitu “dingin” dan terjadi praktik KKN dimasanya. Begitu juga sosok Aidit yang dicam “beringas” dan “amoral”, namun disisi lain ia memiliki sifat-sifat yang begitu halus dan etos baik di partai maupun dikeluarga dan sahabatnya.

Masa lalu telah berlalu, kita harus menatap masa depan dengan belajar dari sejarah masa lalu. JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah, itulah pesan Bung Karno kepada kita. Begitu hendaknya kita menyikapi  pro dan kontra atas pribadi Boediono. Mengapa ada yang pro dan mengapa ada kontra, adalah hal yang wajar dalam suatu sistem demokrasi. Namun, setiap pro dan kontra hendaknya memiliki landasan yang jelas, mengapa pro dan mengapa kontra. Dan alangkah baiknya jika kita bukan seperti Burung Beo yang hanya mengikuti apa kata orang tanpa memahami betul kondisi-kondisi sebenarnya.

Disisi lain, saya agak merasa aneh pernyataan Pak FHB  beberapa waktu dulu ketika beliau berada di Padang-Sumatera Barat dan ditanya oleh Padang Today, bagaimana pandangan FHB jika Boediono dipilih sebagai cawapres.

Saya menilai sayang jika Prof. Boediono ditempatkan sebagai Wapres,dia itu teknokrat, lebih tepat jika dia mengurus persoalan ekonomi dan moneter di level menteri, akan lebih optimal,”
Ditambahkan Faisal, kemampuan Boediono justru akan terhambat jika dia diposisikan sebagai Wapres.
Pak Boediono diakui dunia sebagai pakar ekonomi moneter, kemampuannya justru dibutuhkan untuk mengelola ekonomi dan moneter kita, yang menjadi domain kerja Menko Ekonomi serta Gubernur BI, jadi kalau dia ditempatkan di Wapres justru kontraproduktif,” ungkap FHB.

Pak FHB saat ini tampak sekali  mendukung SBY-Boediono, padahal pada 20 Desember Faisal  Basri mengemukan kegagalan ekonomi SBY yang selama ini dimotori Boediono sebagai Menko Perekomian dan Menkeu Sri Mulyani. FHB mengingatkan kepada masyarakat agar tidak terjebak dengan janji-janji SBY saat melakukan kampanye. Ia mengatakan tersebut d Hotel Aston Atrium Jakarta – RakyatMerdeka

“Hati-hati saat kampanye bila SBY bicara tentang angka pengangguran dan kemiskinan menurun….. Presiden yang dipilih berhasil alakadarnya. Tidak ada perbaikan secara signifikan. Apa gunanya dipilih lagi. Buat apa kita pilih yang katanya doktor, bintang empat (jenderal), ahli pertanian,”
Pengangguran misalnya, terjadi pengurangan atau penurunan angka pengangguran dari 9,1 persen tahun 2007 menjadi 8,1 persen tahun 2008.
“Tapi itu di sektor informal, pedagang kaki lima yang tidak ada pensiun, tidak ada tunjangan kerja. Beginilah kalau presidennya jaim (jaga image), berbedak terus, berkosmetik terus,”
Faisal menambahkan, selama kepemimpinan SBY, telah tercipta jurang yang cukup dalam antara si kaya dan si miskin. Subsidi yang diberikan tidak tepat sasaran dan lebih banyak dinikmati oleh orang kaya.

Bahkan belum sebulan yang lalu yakni 27 April 2009, Faisal Basri secara gamblang menulis Menakar Kinerja SBY-JK di Kompas cetak :

Selama tahun 2004-2008, anggaran untuk memerangi kemiskinan naik hampir empat kali lipat, tetapi angka kemiskinan hanya turun 1 persen saja. Bukti tumpulnya kebijakan ekonomi untuk memberantas kemiskinan terlihat pula dari perbandingan dengan negara-negara tetangga.

Pemerintahan SBY-JK juga bisa dipandang terseok-seok dalam memerangi pengangguran dan meningkatkan kualitas pekerja. Angka pengangguran terbuka memang turun sedikit dari 9,9 persen pada tahun 2004 menjadi 8,4 persen pada tahun 2008. Namun, pada periode yang sama terjadi peningkatan underemployment (separuh menganggur) dari 29,8 persen menjadi 30,3 persen.

Pemerintahan SBY-JK gagal untuk menghasilkan pola pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mengutamakan penguatan sektor produksi barang. Yang paling mencolok adalah kinerja industri manufaktur.

Dari analisis tajam seorang FHB 1 bulan yang lalu atas kinerja ekonomi pemerintah  SBY-JK selama 2004-2008 yang hampir3 tahun dipimpin oleh tim ekonomi Boediono sudah gagal. Analisis yang tajam dari FHB pada tanggal 27 April  2009 tidak jauh berbeda dengan analisis 5 bulan lalu pada 29 Desember 2008 dan juga sebelum-belumnya. Namun, pasca Boediono dipinang SBY, pola analisis FHB berubah dan bisa dikatakan lebih dari 100 derajat. Apakah analisis tajam FHB sudah terbeli oleh politik? Apakah FHB akan kembali masuk ke politik seperti pada tahun 1998 silam?

*******

Pemaparan Pak FHB mengenai Boediono merupakan salah satu tulisan terpercaya, dan patut diberi apresiasi yang selayaknya karena berdasarkan realitas kedekatan dan analisisnya. Secara garis besar, FHB menggambarkan sosok kepribadian yang unggul dalam diri Boediono. Kepribadian yang unggul inilah yang membawa dirinya menduduki posisi yang strategis di negeri ini. Namun, kita harus juga menelusuri sisi lain, hal yang tidak bisa kita lupakan dalam perjalanan bangsa ini yakni BLBI dan Agenda Penjualan BUMN Strategis serta Perbankan BPPN yang mana total kerugian negara akibat aksi ini mencapai ribuan triliun. Kita perlu tahu bahwasanya agenda-agenda tersebut merupakan buah dikte dari IMF pada saat itu (2002). Dan kita pun sudah melihat adanya ketimbangan tulisan pak FHB pada 14 Mei dengan 27 April.

Dalam kesempatan ini, saya akan mengutip langsung pernyataan Pak Boediono atas Agenda IMF tersebut dengan tulisan pink (versi Inggris) di Jakartapost (27 Februari 2002):

Menteri Keuangan Boediono menyatakan optimismenya pada hari Selasa bahwa pemerintah sanggup memenuhi “Agenda Utama” yang dikeluarkan IMF sebagai syarat bantuan pendanaan [catatan: utang masih dikatakan sebagai dana bantuan].
Agenda-agenda IMF diantaranya adalah:

  1. Negara harus menjual BUMN-BUMN strategis kepada pemilik modal dengan harga yang diintervensi oleh IMF. Indosat, Telkom adalah salah satu buah produk IMF pada saat itu.
  2. Negara harus menjual bank-bank BPPN seperti BCA, Danamon, BII, dengan harga jauh dibawah  kewajaran yang akan membebani anggaran (BLBI) hingga ratusan triliun. Salah satu contohnya adalah menjual BCA seharga 10 Triliun padahal harga obligasi rekap yang melekat pada BCA 58 triliun + aset-aset tetap. Negara dirugikan lebih dari 50 triliun + bunga berjalan yang jika ditotalin hampir 100 triliun.  Inilah kasus BLBI yang hingga saat ini masih meninggalkan ketidakadilan bagi rakyat yang tidak tahu menahu.
  3. Negara harus mengurangi dan pada akhirnya harus menghapus subsidi minyak, air, listrik dan pendidikan. Kebijakan ini terus dilakukan dan pada Desember 2008, secara resmi pemerintah SBY-JK mengatakan “Tidak ada lagi subsidi minyak, kita kembali ke harga pasar“. Untuk pendidikan, diterbitnyalah UU BHP. Dengan adanya penghapusan subsidi, maka perusahaan asing baik disektorBBM maupun pendidikan akan menjadi tuan di tanah kita.
  4. Negara secara tidak langsung dipaksa untuk mengekspor barang-barang mentah ke luar negeri lalu diimpor dalam bentuk barang jadi.
  5. Negara harus tetap mengutamakan memberi bantuan yang besar kepada lembaga-lembaga/perusahaan besar. Ini disebut juga sebagai paham trickle down effect

Pihak IMF diperkirakan tiba bulan depan di Jakarta untuk mereview program reformasi  ekonomi negara ala IMF. Bantuan IMF sangatlah penting dan mendesak (krusial) bagi pemerintah untuk penjadwalan kembali skema pembayaran utang dengan [rentenir] Paris Club pada April 2002 mendatang.

Boediono sangat meyakini konsep reformasi ekonomi yang didikte oleh IMF. Tujuan IMF, Paris Club, WB dan begitu juga agen EHM seperti John Perkins akui adalah membuat kesepakatan untuk memberi pinjaman ke negara lain, jauh  lebih besar dari yang  negara itu sanggup bayar.  Dalam kesepakatan antarnegara itu, IMF, EHM CS berusaha menekan negara-negara lain agar memberikan 90 persen dari pinjamannya kepada perusahaan-perusahaan AS, seperti Halliburton atau Bechtel. Kemudian perusahaan-perusahaan AS tersebut akan masuk membangun sistem listrik, pelabuhan, jalan tol dan lainnya di negara-negara berkembang. Setelah mendapatkan utang, AS akan memeras negara tersebut sampai tak bisa membayarnya. Dengan alasan itu, barulah AS akan mendesak negara-negara lain untuk menyerahkan sumber kekayaan alamnya, seperti minyak, gas, kayu, tembaga dan lainnya ke AS. Bagaimana jika negara-negara itu menolak? John Perkins menyatakan, mereka bisa saja dibunuh. Ini bukan isapan jempol. Dua tokoh dunia, yakni Presiden Panama Omar Torijos dan Presiden Ekuador Jaime Rojos dibantai karena menolak kerja sama dengan AS. [beli buku : John Perkins : Confession of EHM – coba search internet tentang  The Dead of Omar Torijos dan The dead of Jaime Rojos]

Agenda Utama adalah persyaratan dan perihal yang harus pemerintah laksanakan. Tapi, saya yakin bahwa kita mampu memenuhi semua persyaratan tersebut tepat waktu.”, ungkap Boediono kepada Wartawan setelah sesi dengar pendapat di Komisi IX DPR.
Dari jumpa pers tersebut, sangatlah jelas bahwa Boediono sebagai Menkeu di era Gotong Royong sangat patuh pada IMF dengan agenda menjual Indonesia ke tangan swasta dan asing.

Ia [Boediono] tidak menjabarkan secara jelas apa saja “Agenda Utama” IMF tersebut. Namun, Boediono memastikan bahwa penjualan 51% saham BCA [berada dibawah naungan BPPN] dengan proses yang kredibel, dan strategi yang jelas untuk mengatasi utang yang membengkak dari Bank-Bank BPPN (yang mendapat likuiditas BLBI) hasil utang para pemilik bank tersebut, termasuk dalam daftar “Agenda Utama IMF mendesak Indonesia”.
Sejarah gamblang Boediono (Menkeu) bersama Menko Dorodjatun dan Meneg BUMN Laksamana Sukardi secara tidak langsung mengubah utang para bankir menjadi utang rakyat. Menjual BUMN  kepada Temasek sehingga satelit strategis untuk keamanan dan kedaulatan negara kita dikuasai Singapura.  Hal senada disampaikan Prof. Mubiyarto, bahwa sejak private debt [utang para bankir/swasta] dijadikan public debt [utang rakyat], sejak utang para konglomerat ”ditalangi” pemerintah, perbankan selalu mendapat subsidi, industri perbankan yang seharusnya menghasilkan pendapatan (revenue) ternyata menjadi beban (expenditure) negara/rakyat yang dibayar terus oleh pemerintah hingga saat ini. Pada tahun 1998, ”bunga utang” para konglomerat yang dibebankan kepada APBN besarnya Rp 60 trilliun, empat kali lipat dari anggaran untuk pendidikan yang hanya sekitar Rp 15 trilliun. Inilah salah satu kebijakan yang mungkin Pak Faisal Basri harus juga uraikan secara mendetil dalam tulisan beliau Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal

Untuk isi pernyataan pers  lengkap dari Boediono pada 27 Februari 2002, silahkan baca berita aslinya di Boediono upbeat on meeting key IMF programs.

Ada catatan lain yakni pada waktu menjabat sebagai Menteri Keuangan saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dia menyatakan bahwa pada dasarnya subsidi bagi rakyat harus dihapus. Dan ketika para petani tebu meminta proteksi, Boediono dengan enteng menyatakan, ”Kalau petani tebu merasa bahwa menanam tebu kurang menguntungkan, tanamlah komoditas lain yang lebih menguntungkan.” (sinarharapan)

Baca selengkapnya di:

http://nusantaranews.wordpress.com/2009/05/15/menelusuri-sisi-sisi-lain-pak-boed-yang-saya-kenal/comment-page-2/#comment-5152

Faisal: Boediono Justru Sosok Anti Neoliberal

Faisal malah mengkritik balik orang-orang yang menuding Boediono neoliberal.

“Boediono justru antitesa dari neoliberal,” ujar Faisal Basri kepada VIVAnews di Jakarta, Kamis malam, 14 Mei 2009.

“Falsafah Bappenas itu bukan neoliberal,” ujar Faisal. Peran Bappenas, menurut dia, sangat besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia. “Seandainya Boediono neoliberal, maka dia tidak akan mau bergabung dengan Bappenas.”

Baca selengkapnya di:

http://bisnis.vivanews.com/news/read/57960-faisal__boediono_justru_sosok_anti_neoliberal

Boediono Bukan Penganut Neoliberalisme

Banyak kalangan yang menuding Boediono sebagai penganut neoliberalisme. Tapi jika ditelusuri dari berbagai kebijakan dimana Boediono ikut memutuskan, cawapres SBY ini jelas-jelas bukan penganut neoliberalisme.

Demikian disampaikan ekonom Chatib Basri yang ikut dalam rombongan Boediono ke Bandung, di atas kereta Parahyangan, Jumat (15/5/2009).

Chatib menjelaskan, Boediono sudah malang melintang menangani ekonomi Indonesia di bawah berbagai pemerintahan. Pada saat pemerintahan Megawati, Boediono menjadi Menteri Keuangan dan pada pemerintah SBY kali ini ia menjabat sebagai Menko Perekonomian dan kini Gubernur BI.

Baca selengkapnya di:

http://www.detikfinance.com/read/2009/05/15/111207/1131896/4/boediono-bukan-penganut-neoliberalisme

Anas Bantah Boediono Neoliberalisme

Adanya tudingan dari beberapa pihak yang mengatakan kalau Boediono adalah penganut faham ekonomi liberal serta juga dianggap sebagai antek – antek IMF langsung dibantah secara tegas oleh Anas. Diungkapkan oleh dirinya bahwa sisi program ekonominya Boediono sangat jelas dan platform SBY dalam konteks ekonomi adalah ekonomi pro rakyat.

Baca selengkapnya di:

http://anasurbaningrum.blogdetik.com/2009/05/18/anas-bantah-boediono-neoliberalisme/

PAN Tolak Boediono Karena Neoliberalis?

https://capresindonesia.wordpress.com/2009/05/14/pan-tolak-boediono-karena-neoliberalis/

Kekayaan Boediono Paling Signifikan Meningkat

Rabu, 23 Juli 2008 | 18:46 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Dari tiga pejabat penyelenggara negara yang melaporkan harta kekayaan, Gubernur Bank Indonesia Boediono mengalami kenaikan paling signifikan.

Pada laporan tertanggal 24 Februari 2006 jumlah harta kekayaan Boediono sebesar Rp 13.6 miliar, kemudian pada laporan terakhir tertanggal 31 Mei 2008, jumlah harta kekayaan Boediono bertambah menjadi Rp 18.6 miliar.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/07/23/brk,20080723-128868,id.html

Boediono Memang Penganut Neoliberal?

DHONI SETIAWAN

Jumat, 22 Mei 2009 | 13:58 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com — Meskipun bantahan demi bantahan diluncurkan oleh Boediono maupun pihak SBY sebagai pasangannya yang akan maju dalam pemilu presiden mendatang, sejumlah pengamat ekonomi keukeuh menilai Boediono memang menganut paham ekonomi neoliberalisme. Apa saja argumen yang mendasari klaim tersebut?

Mantan Menneg PPN/ Kepala Bappenas zaman Megawati, Kwik Kian Gie, mengatakan punya banyak catatan dalam rekam jejak Boediono sebagai pejabat publik. Sebagian besar langkahnya adalah ‘menjual’ sumber daya dan fasilitas publik kepada para investor. “Tanya pada Pak Boediono, dia berpendapat atau tidak ketika jalan raya yang mulus bebas hambatan itu harus dikenakan tarif tol, diserahkan kepada investor swasta, domestik maupun internasional. Oleh karena itu, investornya buat laba dan rakyat yang harus bayar tol!?” seru Kwik seusai diskusi bertajuk “JK-Win untuk Indonesia Adil dan Sejahtera: Ekonomi Kemandirian vs Ekonomi Neoliberal” di Jakarta, Jumat (22/5).

Padahal, menurut Kwik, di negara-negara besar di Amerika dan Eropa, seluruh fasilitas dan sumber daya publik dapat dinikmati rakyat secara gratis. Lalu apa lagi? Kwik kemudian menyebutkan beberapa pertanyaan yang patut dilontarkan kepada Boediono untuk membuktikan pria asal Blitar tersebut memiliki mazhab neoliberal.

“Betul atau tidak bahwa Boediono pro penjualan bahan bakar minyak (BBM) suatu waktu ketika Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan meski harganya tinggi? Betul atau tidak bahwa Boediono pro semua jalan bebas hambatan harus dikenakan biaya? Betul atau tidak bahwa Boediono menganggap barang-barang publik yang penting-penting menjadi ajang cari laba untuk investor asing?” tanya Kwik panjang lebar.

Pengamat ekonomi Hendri Saparini dari ECONIT memiliki pendapat serupa. Tiga pilar neoliberal, yaitu stabilitas makro, agenda liberalisasi, dan agenda privatisasi, yang dicetuskan dalam Washington Consensus menjiwai tindakan-tindakan Boediono.

..

Belum lagi agenda liberalisasi dan privatisasi yang dilakukan oleh Boediono ketika menjabat sebagai Menkeu dalam masa pemerintahan Megawati dan Menko Ekuin dalam pemerintahan SBY. Misalnya, dalam penyusunan UU Migas. Hendri menilai pemerintahan SBY juga marak melakukan privatisasi. Bahkan, saat ini 40 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah didata untuk diprivatisasi, antara lain PT Krakatau Steel dan PT Kereta Api Indonesia.

Baca selengkapnya di:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/05/22/13581432/Boediono.Memang.Penganut.Neoliberal

Capres Indonesia – Informasi Penting Seputar Capres di Indonesia

https://capresindonesia.wordpress.com

14 Tanggapan

  1. Assalamu ‘alaikum mas, demi menjalin silaturahmi sesama Blogger marilah kita saling bertukar link, gimana mas?? Salam kenal yah dari Dedhy Kasamuddin 😀

  2. mudah-mudahan siapapun presiden indonesia nanti, bisa memawa bangsa ini kearah yang lebih baik,,, amiiin,,,

  3. Pemilu presiden nanti aku bingung mau pilih yang mana. Ada yang mau bantu cari referensi ga ya?
    ;))

  4. Pokoknya kita serahkan saja kepada rakyat yang memilih mana yang lebih baik dari ke 3 capres dan cawapres. Pada saatnya nanti kita bisa menilai capres dan cawapres yang kepilih nanti, apakah beliau pro rakyat atau tidak. Kita husnuzon aja kepada ke 3 capres dan cawapres, karena yang bisa menilai hati seseoranga hanya ALLAH SWT. Kita do’akan saja yang menjadi pemimpin bangsa ini nanti adalah orang yang dapat mensejahterakan rakyat secara adil. Allah itu tidak akan salah memilih orang yang akan menjadi pemimpin suatu bangsa, jika rakyat indonesia bersyukur semuanya, Allah akan kasih pemimpin yang adil, jujur dan bijaksana. Tapi selama rakyatnya tidak mau bersyukur, Allah akan memberikan pemimpin yang dzolim.

  5. Mau kayak apapun system ekonomi yang kita anut tetap aja negara ini akan bangkrut,!!!!! Kalau koruptor merajalela…. Intinya berani nggak salah satu capres untuk menegakkan hukum dengan hukuman mati bagi Koruptor,

  6. Mau kayak apapun system ekonomi yang kita anut tetap aja negara ini akan bangkrut,!!!!! Kalau koruptor merajalela…. Intinya berani nggak salah satu capres untuk menegakkan hukum dengan hukuman mati bagi Koruptor,

  7. KALO ADA PAKET MILITER – SIPIL DALAM PILRES, AKU LEBIH SETUJU YANG MILITER AJA JADI CALON PRESIDEN, BUKAN CAWAPRESNYA YANG MILITER. HE HE..

  8. Tulisan yang menambah pengetahuan.Thanks

  9. mantebs gan…. racikannya… 🙂

  10. Semua elit politik bilang Bukan Neo-Liberalis … faktanya juga beliau-beliau bukan pro kerakyatan … emang ini kisah “NEGARA BUKAN” (susah kalo setiap elit politik tidak menunjukan “jenis kelamin” Ideologinya) … Akhirnya Negara ini adalah Negara tanpa Ideologi

    Kisah Negara (Politik) Tanpa Ideologi

  11. pengetahuan saya semakin bertambah ketika membaca tulisan ini..
    menentukan sapa yang nanti bakal saya pilih..
    dukungan dan ucapan trims atas blogg nya ..semoga tulisan/ informasi ini dapat mencerdaskan bangsa..seutuhnya..

  12. […] neoliberalisme atau bukan. Untuk bahan bacaan lain, Kang Kombor persilakan Sampeyan membaca Pro Kontra Apakah Boediono Neoliberalisme atau Tidak. Pada tulisan tersebut juga terdapat tulisan Revrisond Baswir dan Faisal Basri. Bedanya, pada […]

  13. nelib sejahat itukah
    saya masih belum paham
    semoga segera diketahui kebenarannya

Tinggalkan komentar